Hari Minggu menjadi waktu mahal untukku. Hanya di waktu mahal ini aku bisa mengajak tubuhku bersantai agak lama bersandar pada kasur, di waktu mahal ini juga aku bisa mengajak pikiranku untuk terbang melayang menyusuri dunia khayal yang liar. Senin bertemu Sabtu menjadi 6 hari yang sibuk untukku. Bekerja sebagai tim marketing di kantor periklanan begitu menguras waktu pada jam dinding yang mentok di angka 24. Perkenalkan, namaku Nanda”. Usiaku baru 24 tahun.
“Kring Kring…. Kring Kring..” HP ku berdering.
“Hallo Fih, ada apa?” tanya ku.
“Lagi libur kan?, temenin aku yuk, bawain pesenan nasi box Ibu” ujar Fia, sahabatku.
“Ke mana? tanya ku.
“Udah nanti ikut aja, sebentar lagi aku jemput ke rumah mu ya Nan!” jawab Fia.
“Oke.. aku tunggu” jelas ku.
Fia adalah sahabatku sejak kami duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ibu nya mempunyai usaha membuka catering makanan. Kadang kalau pesanan sedang banyak, Fia yang akan disuruh membantu mengirimkan pesanan. Namun tidak biasanya Fia meminta aku menemaninya.
“Tin.. Tin..” Terdengar klakson mobil depan rumahku. Segera aku bergegas turun dari kamarku di lantai dua.
“Fi, kita mau nganter pesanan kemana si?!” tanya ku begitu penasaran.
“Udah ayuk cepetan Nan, keburu jam makan siang nih!” jelas Fia sambil menyuruhku untuk segera menaiki mobil Avanza miliknya.
“Banyak banget Nasi boxs nya Fi?! Siapa yang pesen?” tanyaku begitu terkejut ketika melihat begitu banyak nasi box didalam mobil Fia.
“semuanya ada 300 box, aku disuruh ngirim ke tempat pemukiman kumuh rel kereta mati untuk makan siang masyarakat di sana, nahh.. aku disuruh ibu nemuin ketua masyarakat di sana dan menjelaskan pemberian nasi ini, soalnya yang nyumbang ga mau disebut namanya gitu!, maka dari pada itu aku ngajak kamu biar kamu bantuin aku ngomogin hal ini” Fia menjelaskan.
Aku menggangguk paham.
***
Aku bersama Fia berdiri di pinggiran rel kereta api mati yang lenggang. Kami bingung harus berjalan ke arah mana. Rel kereta mati ini begitu panjang, begitu banyak rumah yang berjejer di pinggiran rel. Tak terurus. Hingga ada seseorang yang menghampiri kami.
“Mba, mau kemana?” Mari naik Troli saya Mba!” Ujar anak muda yang datang menghampiri kami.
“Troli ?! yang ini maksudnya Dek?” Tanyaku sambil menunjuk sebuah benda ber roda 4 yang terbuat dari kayu ukuran 1×1 berbentuk kubus.
“Iya Mba, Troli itu kendaraan di sini, atau Mba juga bisa jalan kaki nelusuri rel kereta ini, tapi panjang Mba! Tuh sampe Ujung sana! Emang Mba mau ke mana? Bawa barang ga?” tanya anak muda tersebut.
“Iya Dek, saya bawa barang lumayan banyak, yaudah saya naik troli aja deh, Bantu saya angkut barangnya ya Dek, ini alamatnya. Dek kenal Bapak Didi ga?” Fia menjelaskan.
“Kakek Didi kali Mba? Kita manggilnya Kakek karna usianya sudah tua Mba, dia orang kepercayaan di Kampung ini Mba! Kenalkan Mba, saya Dodo. Mari saya antar” anak muda itu menjelaskan.
Masyarakat mulai berkumpul di depan rumah Kakek Didi. Untuk pembagian nasi sepenuhnya kami serahkan kepada Kakek Didi. Setelah itu kami pamit pulang kepada Kakek Didi dan masyarakat di sana.
***
Kesibukan di kantor mulai lagi kujumpai di hari senin. Namun kini ada hal yang selalu aku renungkan ditengah-tengah kesibukanku ini. Ada sesuatu yang menggerakkan ku agar aku kembali lagi ketempat itu. Hingga akhirnya kuputuskan usai kerja hari ini aku akan sempatkan waktu ke rumah Kakek Didi.
Menjelang Mahgrib aku tiba di lokasi, sambil mencari Dodo untuk mengantarku ke rumah Kakek Didi. Suasana sore ini lebih banyak masyarakat yang nampak berlalu lalang di rel. Ada ibu-ibu yang membawa karung besar berisi botol minuman, plastik, kardus dan barang-barang bekas lainnya, ada anak-anak kecil yang berlarian sambil membawa tas kecil dan menggenggam kecrekan ada juga yang serempak beberapa anak membawa kemoceng. Ada yang baru saja ingin bergegas pergi ada juga yang baru saja sampai rumah. Aku banyak berdiskusi dengan Dodo di perjalanan menuju rumah Kakek Didi. Dodo anak muda yang baik, usianya baru 15 tahun, dia meninggalkan pendidikan formalnya sejak kelas III SD. Tidak ada duit menjadi alasan kenapa Dodo berhenti sekolah. Aku begitu yakin, Dodo adalah salah satu dari sekian banyak anak-anak di sini yang menghentikan pendidikannya.
“Terima kasih Do, nanti pulang anterin saya lagi ya Do! Bayarnya sekalian pulangnya aja ya.” Aku menjelaskan.
“Iya Mba, nanti panggil saya aja ya Mba!” Ujar Dodo sambil cengar-cengir.
Nampaknya Kakek Didi sedikit kaget atas kedatanganku yang mendadak, namun beliau tetap menyempatkan diri untuk berbincang santai denganku. Kue-kue ringan dan minuman teh hangat disuguhkan oleh gadis manis berambut lurus dan tebal. Itu cucu Kakek Didi, usianya baru 12 tahun. Sedari awal aku melihat Kakek Didi, aku sudah duga bahwa beliau adalah orang yang baik, tegas dan begitu mencintai keluarganya.
“Di sini masyarakatnya banyak sekali, hingga ratusan. Apalagi anak-anaknya, saya sedih sebagian dari mereka menghentikan pendidikannya untuk mencari uang dengan mengamen, mulung, ngemis. Saya sih sudah pesen kepada orangtua-orangtua yang kiranya masih mampu menyekolahkan anaknya, agar mereka tetep mengupayakan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Waktu saya masih bisa beraktifitas lancar, saya sempat menjadi guru untuk anak-anak di sini, angkatan Dodo waktu masih ingusan saya yang temani mereka. Kini tubuh saya sudah penyakitan, tidak kuat berlama-lama di jalan. Dulu kadang memang pernah suka datang orang-orang yang mau membantu kami, tapi mereka hanya sekedar membuat acara yang sehari kelar saja, setelah itu mereka tidak lagi kembali. Saya kepingin rel mati ini tetap hidup, hidup manusia yang cerdas, hidup anak-anak yang berpendidikan. Tapi susah, generasi muda yang berprinsip dan mempunyai komitmen begitu minim” panjang lebar Kakek Didi menjelaskan kepadaku.
“Terus Kakak Nanda mau mulai kapan jadi Guru kita?” celetus cucu Kakek Didi.
“Pasti dan secepatnya !” Jawabku tegas.
***
Aku mengintikan pembicaraanku semalam bersama Kakek Didi bahwa lingkungan kumuh seperi yang terletak di daerah pinggiran kota, pinggiran rel kereta dan kolong tol merupakan akar dari lahirnya anak jalanan. Pada umumya anak-anak yang tinggal di daerah kumuh masih megenyam pendidikan sekolah dasar, tetapi seiring dengan kenaikan kelas atau memasuki jenjang baru seperti SMP dan SMA, banyak diantara mereka lambat laun mulai putus sekolah karena faktor ekonomi dan juga karena biaya pendidikan yang semakin mahal. Satu hal yang kini harus aku hentikan adalah tidak lagi memberikan uang kepada anak-anak yang meninta-minta di jalan, karena hal itulah yang akan membuat mereka betah di jalan. Dunia anak bukanlah dunia bisnis.
Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi anak-anak jalanan yang putus sekolah, maka aku, Fia dan beberapa teman membentuk satu komunitas bernama Rel Pelangi. Aku mulai mengajak Fia dan beberapa teman kantor untuk rutin setiap tiga kali seminggu datang ke rel Pelangi. Beberapa kelas sudah mulai berjalan terutama menulis, menghitung dan bahasa inggris. Intensitas kelas kami lakukan malam ketika anak-anak semua kumpul dan kami sudah pulang kerja. Proses belajar kami lakukan di pinggiran rel beralaskan terpal, dana yang keluar untuk membeli perlengkapan juga masih patungan antara aku, Fia dan teman yang lain.
“Dodo! Anak-anak yang sepantaran dirimu di sini banyak kan? Aku sering lihat kamu nongkrong sama temen-temenmu?” tanyaku kepada Dodo.
“Ada si Mba Nanda, tapi mereka suka pergi-pergian, apalagi kalau suruh ikut belajar macem anak-anak kecil begini, mereka mana mau Mba, Gengsi tau!” Jawab Dodo lantang.
“Begini Do, aku ga akan memaksakan mereka harus belajar bersama anak-anak kecil ini, tapi aku mengharapkan agar mereka menjadi Guru bagi anak-anak ini Do! Teman-temanmu sudah pada bisa baca tulis kan Do? Gitu Do, kira kira mereka mau ga ya? Kamu bantu aku kumpulin mereka dulu deh, kita ketemuan di warung makan deh Do! Gimana?” Ujar aku, sambil merayu Dodo.
“Wah boleh Mba, setuju deh kalo di Warung Makan, tapi saya yang milih ya Mba! Saya maunya di Angkringan Mpo Saminah ya Mba?! Jawab Dodo menjelaskan.
“Siap Do!” Jawabku tegas.
Semakin hari anak-anak semakin banyak yang datang ke kelas, para orangtua pun begitu antusias melihat anak-anaknya berproses. Aku begitu sadar bahwa mereka mengharapkan kegiatan ini sejak dulu, namun karna SDM yang terbatas mereka hanya bisa menunggu. Begitu pun sahabat-sahabat Dodo yang mulai terlibat beberapa orang untuk menjadi Guru dalam setiap kelas.
***
Sebentar lagi menuju Hari anak Nasional, 23 Juli 2013. Aku harus membuat acara khusus untuk anak-anak Rel Pelangi. Aku ingin anak-anak menuliskan keinginan terbesar mereka saat ini melalui selembar kertas yang akan diberikan kepada orangtua mereka. Dan harapan anak-anak begitu mengagumkan.
“Aku berharap bisa belajar nulis dan hitung di dalam rumah Rel Pelangi, bisakah Ibu, Bapak, Kakek Didi, Kak Nanda dan Kak Fia membuatkan rumah belajar untuk kami?” – Hani, 12 tahun.
“Aku mau punya uang banyak buat sekolah adik. Sebentar lagi adikku sudah umur 7 tahun. Aku sudah menabung uang hasil ngamen, bisakah Bapak ikut menabung ke dalam celengan ku?” – Dodo, 16 tahun.
“Aku mau jadi pilot, Bapak anterin aku ke bulan?” – Diki, 5 tahun. Dia belum bisa menulis, namun ia berbicara langsung kepada Bapaknya depan semua teman-temannya.
Harapan-harapan ini hanya sebagian kecil yang ditulis dari puluhan anak yang mempunyai mimpi beragam. Aku pun menulis harapan dan ucapan.
“Untuk anak – anakku, dunia kalian masih begitu panjang. Banyak hak dibanding kewajiban yang harus kalian terima, namun keadaan membuat semuanya jadi terbalik. Untuk anak-anakku, manfaatkan kelas sederhana ini untuk belajar sungguh-sungguh, walau di pinggir rel, walau hanya beralaskan terpal tipis, namun ini sedikit rezeki dari Tuhan dan patut kita syukuri bersama. Aku bersama teman-temanku, bersama anak-anakku, bersama para orangtua anak-anak dan bersama Kakek Didi berharap semoga terbangun rumah Rel Pelangi, di dalam rumah itu kita akan berteduh, berharap dan bermimpi”. – Nanda 24 tahun. Aku tidak menuliskan surat itu khusus untuk kedua orangtua ku, melainkan untuk semua orang-orang dewasa yang ingin bertanggung jawab mewujudkan mimpi anak-anak Rel Pelangi bahkan anak-anak di mana pun.
Begitu pun hari-hariku yang berubah total. Kini bukan hanya hari Minggu yang menjadi waktu mahal, namun setiap hari di mana aku bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak Rel Pelangi menjadi 10 kali lipat lebih berharga. Aku tidak lagi membenci kesibukanku, justru aku begitu bersemangat ke kantor. Bersyukur atas kebetulan Fia memintaku untuk mengajakku bertemu Kakek Didi, bersyukur lagi aku dipertemukan dengan anak-anak oleh Kakek Didi dan besyukur bertemu Dodo sudah mempertemukanku dengan anak-anak muda di sini. Mereka mengubah duniaku menjadi lebih indah.
selesai